Hak Asasi Manusia Dalam Pertanggungjawaban Negara
Wednesday, April 15, 2020
Edit
HAM- marupakan sebuah hak asasi manusia yang harus dimiliki bagi setiap manusia untuk memperoleh hidup yang sejahtera. Hak asasi manusia berfungsi apabila dikaitkan dengan kawajiban dan tanggung jawab seseorang untuk menjalani kehidupan agar tetap didalam damai. Namun sebelum lanjut membaca artikel ini akan membahas mengenai pertanggungjawaban negara terhadap hak asasi manusia., untuk mengetahui lebih lanjut silahkan simak bahasan diberikut ini.
Tanggung jawab negara merupakan suatu prinsip fundamental dalam hukum internasional yang bersumber dari doktrin kedaulatan dan persamaan hak antar negara. Tanggung jawab negara timbul bila ada pelanggaran atas suatu kewajiban internasional untuk berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu, baik kewajiban tersebut berdasarkan suatu perjanjian internasional maupun hukum kebiasaan internasional.
Dengan menggunakan istilah pertanggungjawaban negara, F. Sugeng Istanto mengartikan tanggung jawab negara sebagai: “...kewajiban memberikan jawaban yang merupakan perhitungan atas suatu hal yang terjadi dan kewajiban untuk memberikan pemulihan atas kerugian yang mungkin ditimbulkannya.” Menurut Karl Zemanek, tanggung jawab negara memiliki pengertian sebagai suatu tindakan salah secara internasional, yang dilakukan suatu negara terhadap negara lain, yang menimbulkan akibat tertentu bagi (negara) pelakunya dalam bentuk kewajiban-kewajiban baru terhadap korban.
Menurut hukum internasional, pertanggungjawaban negara timbul dalam hal suatu negara merugikan negara lain. Pertanggungjawaban negara dibatasi pada pertanggungjawaban atas perbuatan yang melanggar hukum internasional. Perbuatan suatu negara yang merugikan negara lain tetapi tidak melanggar hukum internasional, tidak menimbulkan pertanggungjawaban negara. Misalnya, perbuatan negara yang menolak masuknya orang asing ke dalam wilayahnya, tidak menimbulkan pertanggungjawaban negara.
Hal itu disebabkan, negara menurut hukum internasional berhak menolak atau menerima orang asing masuk ke dalam wilayahnya. Menurut M. N. Shaw, yang menjadi karakteristik penting adanya tanggung jawab (negara) bergantung pada faktor-faktor dasar berikut, antara lain adanya suatu kewajiban hukum internasional yang berlaku antara dua negara tertentu; adanya suatu perbuatan atau kelalaian yang melanggar hukum internasional tersebut yang melahirkan tanggung jawab negara; adanya kerusakan atau kerugian sebagai akibat tindakan yang melanggar hukum atau kelalaian.
Dalam Rancangan tentang Tangung Jawab Negara atas Tindakan-Tindakan Salah Secara Internasional (Draft Articles on Responsibility of State for Internationally Wrongful Acts) (selanjutnya ditulis Draft ILC ) yang disusun oleh Komisi Hukum Internasional (International Law Commission/ILC) tahun 2001, dinyatakan bahwa tanggung jawab negara timbul manakala terjadi pelanggaran yang dikategorikan sebagai tindakan salah secara internasional dan timbul akibat dari satu atau beberapa tindakan (actions) atau pengabaian (ommissions) atau kombinasi dari keduanya.
Hal tersebut dirumuskan dalam Pasal 1 sebagai berikut: “Every internationally wrongful act of a State entails the international responsibility of that State.” Adapun yang dimaksud dengan act adalah suatu tindakan yang melanggar suatu kewajiban yang timbul dari kebiasaan atau perjanjian menyangkut kepentingan negara tertentu. Penentuan karakteristik act sebagai tindakan yang merupakan internationally wrongful act diatur menurut hukum internasional dan hal ini tidak dipengaruhi oleh ketentuan hukum nasional.
Artinya, sekalipun hukum nasional menyatakan bahwa tindakan tersebut adalah sah, tetapi apabila hukum internasional menyatakan sebaliknya, maka yang berlaku adalah apa yang telahditentukan oleh hukum internasional.88 Sedangkan menurut Karl Zemanek, internationally wrongful act ditentukan jika negara pelaku melanggar suatu kewajiban terhadap negara lain yang timbul dari kebiasaan atau perjanjian (“its author violates an obligation which custom or treaty establishes in favour of another State”).
Adapun yang merupakan unsur-unsur tindakan salah adalah perbuatan (action) atau pengabaian (ommission) yang dapat diatribusikan kepada negara dan melanggar suatu kewajiban internasional. Dengan demikian unsur-unsur tindakan salah secara internasional meliputi: tindakan yang dilakukan oleh negara harus dapat diatribusikan (imputable) kepada negara menurut hukum internasional dan tindakan tersebut harus menimbulkan suatu kewajiban hukum internasional yang berlaku bagi negara tersebut pada saat tindakan itu dilakukan.
Putusan ICJ menyangkut hal tersebut misalnya dinyatakan dalam Diplomatic and Consular Staff Case, bahwa untuk menimbulkan tanggung jawab bagi negara Iran ditentukan dua hal, yaitu: apakah tindakan yang terjadi dapat diatribusikan kepada negara Iran dan apakah tindakan Iran tersebut melanggar kewajiban menurut perjanjian atau ketentuan hukum internasional lainnya yang berlaku. Menyangkut tindakan negara yang berupa ommission, sehingga menimbulkan tanggung jawab negara, misalnya dapat dilihat dari putusan ICJ dalam Corfu Channel Case.
Dalam putusan tersebut dinyatakan bahwa negara Albania (yang saat itu sedang berperang dengan Yunani) dianggap mengetahui atau seharusnya mengetahui adanya ranjau (laut) di laut teritorialnya, namun tidak memberikan peringatan kepada negara ketiga (dalam hal ini negara Inggris). Tindakan salah secara internasional yang dilakukan oleh suatu negara tidak semata-mata menimbulkan hubungan hukum antara dua negara (bilateral), yaitu negara yang merugikan dan dirugikan.
Akan tetapi tindakantersebut dapat menimbulkan tanggung jawab terhadap beberapa negara, bahkan menimbulkan tanggung jawab terhadap masyarakat internasional secara keseluruhan. Mengenai tanggung jawab negara terhadap masyarakat internasional secara keseluruhan, antara lain, dapat mengacu kepada putusan yang dibuat oleh ICJ pada Barcelona Case. Dalam putusannya, dinyatakan bahwa setiap negara mempunyai kepentingan hukum (legal interest) dalam hal perlindungan hak asasi manusia dan pemenuhan kewajiban yang bersifat penting.
Sehingga pelanggaran terhadap kedua hal tersebut akan menimbulkan tanggung jawab negara. Sejalan dengan putusan di atas, Roberto Ago, salah seorang pelapor khusus (special rapporteur), dalam analisisnya berpendapat bahwa doktrin, yurisprudensi, praktik negara-negara dan PBB secara jelas telah mengidentifikasi beberapa tindakan yang merupakan internationally wrongful acts, yaitu agresi, genocide, apartheid, dan kolonialisme. Ketiganya merupakan kejahatan internasional.
Menyangkut tindakan agresi, genocide, apartheid dan kolonialisme, Manfred Mohr menyatakan bahwa tindakan tersebut adalah “serius” karena merupakan ancaman terhadap perdamaian dan keamanan internasional yang melanggar prinsip-prinsip dasar Piagam PBB dan tatanan hukum internasional. Secara substansial, hal tersebut merupakan pelanggaran atas kewajiban internasional yang penting bagi perlindungan kepentingan dari masyarakat internasional dan pelanggaran atas hal itu telah diakui sebagai kejahatan terhadap masyarakat internasional secara keseluruhan.
Karl Zemanek menjelaskan bahwa yang mendasari munculnya tanggung jawab negara pada hakikatnya adalah pelanggaran terhadap hak subjektif negara lain, pelanggaran terhadap norma hukum internasional yang merupakan jus cogens dan tindakan-tindakan yang berkualifikasi sebagai kejahatan internasional (misalnya: tindakan agresi, perbudakan, genosida, apartheid, kolonialisme, pencemaran lapisan atmosfer dan laut secara besar-besaran.
Dasar tanggung jawab negara berasal dari ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalam perjanjian internasional maupun hukum kebiasaan internasional. Hal tersebut, antara lain, diatur dalam Prinsip ke-21 Stockholm Declaration on the Human Environment tahun 1972, yaitu dinyatakan bahwa setiap negara, sesuai dengan Piagam PBB dan prinsip-prinsip hukum internasional, mempunyai hak berdaulat untuk mengeksploitasi sumber daya alam yang dimilikinya, namun memiliki tanggung jawab untuk tidak menimbulkan kerusakan terhadap lingkungan negara lain.
Tanggung jawab negara bersifat melekat pada negara, artinya suatu negara memiliki kewajiban untuk memberikan ganti rugi manakala negara tersebut menimbulkan atau menyebabkan kerugian kepada negara lain. Hal itu dinyatakan oleh Mahkamah Internasional Permanen (Permanent Court of International Justice/P.C.I.J) dalam putusannya terhadap Corzów Factory Case. Sifat melekatnya kewajiban negara yang menimbulkan kerugian untuk membayar ganti rugi, misalnya, diatur dalam Pasal 2 ayat (3) Perjanjian Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civiland Political Rights).
Pasal tersebut mengatur bahwa korban pelanggaran hak asasi manusia harus mendapatkan pemulihan efektif, meskipun pelanggaran tersebut dilakukan oleh pejabat resmi negara. Ini mewajibkan negara untuk mengizinkan aksi sipil dalam bentuk mengganti kerugian terhadap pelanggaran yang dilakukannya tergolong kejahatan terhadap kemanusiaan. Sebab, diyakini tidak ada vonis pengadilan yang dapat menghukum secara efektif kejahatan seperti itu.
Tanggung jawab negara menurut hukum internasional juga memiliki perbedaan dengan tanggung jawab negara menurut hukum nasional. Menurut hukum internasional, tanggung jawab negara timbul akibat dari pelanggaran terhadap hukum internasional. Walaupun hukum nasional menganggap suatu perbuatan bukan merupakan pelanggaran hukum, namun apabila hukum internasional menentukan sebaliknya maka negara harus tetap bertanggung jawab.
Akibat perbedaan antara pertanggungjawaban negara menurut hukum internasional dan hukum nasional ialah bahwa suatu negara tidak dapat menghindari pertanggungjawaban internasionalnya berdalihkan kebenaran menurut hukum nasionalnya. Dengan demikian dapat diambil suatu kesimpulan bahwa dalam hal menentukan adanya tanggung jawab negara hukum internasional mengatasi (mengesampingkan) hukum nasional. Hukum internasional menentukan kapan suatu negara dianggap bertanggung jawab atas tindakan dari organ-organnya.
Setiap negara memiliki hak untuk membentuk struktur politik dan administratif maupun pemerintahannya sendiri. Secara umum negara-negara modern membentuk bermacam-macam kekuasaan negara dengan konstitusi dan membuat hukum yang mengatur, terutama, administrasi publik danlembaga peradilan. Dalam struktur ini, negara-negara menciptakan organ-organ yang berbeda, memberikan tiap-tiap organ tersebut suatu kewenangan khusus.
Pada dasarnya hukum nasional memberikan tiap-tiap organ kewenangan tersebut dan menyatakan organ yang mewakili negara dalam tiap-tiap kasus maupun luas kewenangannya, hal itu dikatakan pula, seberapa jauh tindakan-tindakannya dapat diatribusikan kepada negara. Namun demikian, dalam hal tanggung jawab internasional, hukum internasional menentukan kapan suatu negara bertanggung jawab atas tingkah laku para aparatnya atau seberapa jauh hal tersebut dianggap sebagai tindakan dari organ-organ negara.
Preseden bahwa negara harus bertanggung jawab atas tindakan dari organ-organnya sebenarnya telah lama diakui dalam putusan-putusan pengadilan internasional. Negara sebagai suatu entitas abstrak tidak mungkin dapat melakukan tindakan sendiri dan dimintai tanggung jawab atas tindakannya. Berkaitan dengan masalah tanggung jawab negara, dikenal doktrin imputabilitas (doctrine of imputability) yang menyatakan bahwa suatu negara bertanggung jawab atas kesalahan yang ditimbulkan oleh organnya.
Doktrin ini merupakan salah satu fiksi dalam hukum internasional. Latar belakang doktrin ini yaitu, bahwa negara sebagai suatu kesatuan hukum yang abstrak tidak dapat melakukan “tindakan-tindakan” yang nyata. Negara baru dapat melakukan tindakan hukum tertentu melalui pejabat-pejabat atau perwakilan-perwakilannya yang sah. Jadi tampak di sini adanya ikatan atau mata rantai yang erat antara negara dengan subjek hukum yang bertindak untuk negara.
Ikatan atau mata rantai yang dimaksud adalah bahwa subjek hukum tersebut bertindak dalam kapasitasnya sebagai petugas atau wakil negaranya. Negara tidak bertanggung jawab menurut hukum internasional atas semua tindakan atau perbuatan yang dilakukan oleh warga negaranya.Jadi, doktrin ini “mengasimilasikan” tindakan-tindakan pejabat-pejabat negara dengan negaranya yang menyebabkan negara tersebut bertanggung jawab atas semua kerugian atau kerusakan terhadap harta benda atau orang asing.
Mengenai doktrin imputabilitas, F. Sugeng Istanto berpendapat bahwa untuk menentukan adanya pertanggungjawaban negara atas kejahatan internasional itu dikenal ajaran pembebanan kesalahan kepada petugas negara (“the doctrine of imputability” atau “attributability”). Ajaran ini menyatakan bahwa kejahatan yang dilakukan oleh petugas negara atau orang yang bertindak atas nama negara dapat dibebankan kepada negara. Karena pembebanan itu, kejahatan yang dilakukan oleh pertugas tersebut menimbulkan pertanggung jawaban negara.”
Doktrin imputabilitas menegaskan bahwa tindakan salah dari organ negara (yang melaksanakan fungsi: legislatif, eksekutif, yudikatif atau fungsi-fungsi lainnya) dianggap merupakan suatu tindakan negara. Organ negara yang terdiri dari individu ataupun kumpulan individu bertindak berdasarkan atas kewenangan sah yang diberikan negara kepadanya. Oleh karena itu tindakan mereka harus dipertanggungjawabkan kepada negara.
Dengan demikian tangggung jawab negara akan muncul sebagai akibat dari perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh aparaturnya. Pada dasarnya hanya tindakan-tindakan yang memiliki unsur pemerintahan yang akibatnya dapat dipertanggungjawabkan kepada negara. Suatu tindakan yang tidak memiliki keterkaitan dengan negara (pemerintah) maka negara tidak dapat dimintai pertanggungjawaban.
Menurut F. Sugeng Istanto, tidak setiap kejahatan petugas negara dapat membebani pertanggungjawaban negara. Pembebanan itu dapat terjadi apabila perbuatan yang dilakukan oleh petugas negara merupakan pelanggaran atas kewajiban yang ditetapkan hukum internasional dan hukum internasional membebankan kejahatan itu kepada negaranya. Adanya suatu tanggung jawab negara, antara lain, ditentukan apabila tindakan untuk berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu dapat diatribusikan kepada negara.
Untuk menentukan hal itu secara tepat, sebaiknya diperhatikan kompetensi atau kewenangan dari organ negara yang diatur dalam konstitusi maupun di dalam praktiknya. Hal yang juga sangat penting menyangkut doktrin imputabilitas yaitu, kejelasan mengenai konsep organ negara. Konsep organ negara menurut sudut pandang hukum internasional adalah: “…an entity whose acts are attributed to the State according to the law of nations, whether directly or indirectly by referring back to the domestic law, it can be seen that it is difficult to draw up a complete list of such organs.
Jadi yang dimaksud dengan organ negara menurut hukum internasional adalah suatu entitas yang tindakannya secara langsung maupun tidak langsung diatribusikan kepada negara sebagaimana yang diatur dalam hukum nasional negara tersebut.
Sedangkan menurut Ian Brownlie, reparation memiliki pengertian yang berhubungan dengan keseluruhan tindakan yang berupa pembayaran kompensasi atau restitusi, suatu permintaan maaf, penghukuman terhadap orang-orang yang bertanggung-jawab, langkah-langkah untuk mencegah terulangnya pelanggaran kewajiban dan bentuk-bentuk lain dari tanggung jawab yang bersifat non-material (satisfaction).
Reparations dapat pula berarti sebagai tindakan atau proses menyediakan suatu remedy atau berarti remedy itu sendiri. Terdapat suatu kecenderunganuntuk menggunakan ‘reparations’ sebagai suatu istilah umum untuk ‘berbagai metode yang tersedia bagi suatu negara untuk membebaskan atau melepaskan diri’ dari tanggung jawab internasional. Kadang-kadang istilah ‘reparations’ digunakan secara sempit dengan pengertian ganti rugi berupa uang; lebih umum, hal itu mengacu kepada seluruh upaya remedies yang tersedia atas pelanggaran suatu kewajiban internasional.
Erat kaitannya dengan reparation adalah masalah kompensasi atau ganti rugi. Menurut Schwarzenberger, kompensasi (ganti rugi) dapat berupa monetary compensation (ganti rugi dalam bentuk sejumlah uang), atau berupa satisfaction, yaitu ganti rugi dalam bentuk, misalnya saja, permintaan maaf yang biasanya dimintakan untuk kerugian-kerugian non-material atau moral (kepribadian suatu bangsa).
Monetary compensation dapat terdiri dari:
Salah satu bentuk reparation adalah satisfaction. Ian Brownlie mendefinisikan satisfaction sebagai setiap upaya yang dilakukan oleh sipelanggar suatu kewajiban untuk mengganti kerugian menurut hukum kebiasaan atau suatu perjanjian yang dibuat oleh para pihak yang bersangkutan, yang bukan berupa restitution (restitusi atau pemulihan) atau compensation. Satisfaction merupakan pemulihan atas perbuatan yang melanggar kehormatan negara.
Satisfaction dilakukan melalui perundingan diplomatik dan cukup diwujudkan dengan permohonan maaf secara resmi atau jaminan tidak akan terulangnya perbuatan. Pecuniary reparation dilakukan apabila pelanggaran itu menimbulkan kerugian material.Prinsip Tanggung Jawab Negara dan Hak Asasi Manusia Secara historis, prinsip tanggung jawab negara memiliki kaitan erat dengan hak asasi manusia.
Hak asasi manusia yang dewasa ini telah diatur dalam hukum hak asasi manusia internasional, pada awalnya dikembangkan melalui (prinsip) tanggung jawab negara atas perlakuan terhadap orang asing (state responsibility for the treatment of aliens). Di dalam prinsip tersebut terkandung aturan mengenai cara bagi orang asing untuk mengajukan tuntutan akibat dari perlakuan yang salah dari negara terhadap dirinya.
Dari hal tersebut selanjutnya dikembangkan prosedur dalam hukum hak asasi manusia internasional yang memungkinkan para korban pelanggaran hak asasi manusia untuk mengajukan tuntutan secara langsung terhadap negara. Berkenaan dengan perlakuan terhadap orang asing, terdapat dua pendapat tentang bagaimana suatu negara memperlakukan orang asing tersebut. Pertama, pendapat yang datang dari negara-negara Barat (maju).
Menurut mereka, dalam memperlakukan orang asing di dalam negeri, suatu negara harus memenuhi apa yang mereka sebut sebagai “standar minimum internasional” (international minimum standard) terlepas dari bagaimana negara tersebut memperlakukan warga negaranya. Manakala standar minimum ini tidak terpenuhi, maka tanggung jawab negara akan timbul. Arti standar di sini bukan saja berarti standar hukumnya, tetapi juga standar dalam arti penegakan hukumnya (enforcement), yakni perlindungan yang efektif (menurut ketentuan hukum internasional).
Pendapat kedua datang dari negara-negara berkembang yang lahir sebagai reaksi dari pendapat pertama yang berpendapat bahwa dalam memperlakukan orang asing tidak berbeda atau sama saja sebagaimana halnya memperlakukan warga negaranya (national treatment standard). Negara-negara berkembang, khususnya negara-negara Amerika Latin, merasa bahwa konsep standar minimum internasional ini telah digunakan sebagi cara untuk campur tangan dalam urusan-urusan dalam negeri mereka.
Karena itulah untuk menangkal campur tangan ini, Carlos Calvo, seorang ahli hukum dan diplomat Argentina, mengusulkan suatu doktrin yang kemudian terkenal dengan nama doktrin Calvo. Doktrin ini menegaskan prinsip non intervensi yang disertai penegasan bahwa orang asing hanya berhakdiperlakukan seperti halnya warga negaranya dan karenanya untuk menuntut ia harus menempuh cara-cara yang tersedia di dalam negara tersebut.
Upaya untuk menyelesaikan perbedaan antara pendukung standar perlakuan nasional dan internasional terhadap warga negara asing dikemukakan oleh Garcia Amador dalam laporannya tentang tanggung jawab internasional kepada Komisi Hukum Internasional pada tahun 1956. Amador berpendapat bahwa dua pendekatan tersebut bermuara di satu titik temu, yaitu di dalam konsep pengaduan internasional terhadap hak asasi manusia yang esensial.
Untuk itu ia merumuskan dua prinsip perlakuan terhadap orang atau warga negara asing. Pertama, bahwa orang asing harus menikmati hak-hak serta jaminan yang sama dengan warga negara yang bersangkutan, maksudnya harus tidak kurang daripada hak-hak asasi/fundamental manusia yang diakui dan ditetapkan dalam hukum internasional. Kedua, tanggung jawab internasional suatu negara akan timbul apabila hak-hak asasi/fundamental manusia tersebut dilanggar.
Hukum tanggung jawab negara atas kerugian orang asing tersebut juga dapat dipandang sebagai perintis jalan bagi hukum hak asasi manusia internasional, sekalipun terjadi perdebatan yang panjang perihal apakah standar perlakuan yang diwajibkan adalah standar ‘minimum internasional’ ataukah standar ‘perlakuan nasional’. Adapun kaidah hukum yang berlaku untuk melakukan tuntutan oleh negara-negara atas nama warga negaranya bersumber dari general principles of law recognized by civilized nations dan selanjutnya diterapkan oleh para arbitrator dan pengadilan internasional.
Sedangkan, menurut the Restatement of the Foreign Relations Law of the United States (3rd) (1987), dewasa ini negara-negara mulai menggunakan norma-norma hak asasi manusia sebagai dasar untuk mengajukan tuntutan atas kerugian warga negaranya: “The Restatement goes on to point out that “as the law of human rights developed, the law of responsibility for injury to aliens, as applied to natural persons, began to refer to violations of their ‘fundamental human rights’, and states began to invoke contemporary norms of human rights as the basis for claims for injury to their national.
”Bedasarkan penjelasan di atas, terlihat bahwa pada awalnya individu lebih mendapatkan perlindungan dari negara manakala ia berada di negara asing. Karena, apabila ia mendapat perlakuan yang tidak sesuai dengan standar-standar minimum tertentu (certain minimum standards), maka negara asing tersebut memiliki kewajiban hukum untuk memberikan kompensasi kepada orang asing yang dirugikan. Negara yang warga negaranya dirugikan dapat meminta kompensasi atas kerugian yang dialami untuk kepentingan warganya.
Hal di atas terjadi, karena pada saat itu individu dianggap bukan merupakan subjek hukum internasional. Oleh sebab itu, dalam konteks hukum internasional, suatu negara hanya bertanggung jawab untuk melindungi hak asasi manusia terbatas bagi orang asing. Sedangkan perlindungan hak asasi manusia bagi warga negaranya belum diatur oleh hukum internasional dan hal ini masih diangggap sebagai yurisdiksi domestik (domestic jurisdiction) negara.
Dalam perkembangan selanjutnya, hukum internasional menganggap bahwa individu merupakan subjek hukum internasional. Karl Josef Partsch menyatakan bahwa transformasi perkembangan kedudukan individu dalam hukum internasional merupakan perkembangan yang paling luar biasa dalam hukum internasional saat ini. Merupakan suatu prinsip hukum internasional yang telah dikenal bahwa suatu negara dapat membatasi kedaulatannya dengan perjanjian internasional (treaty) dan kemudian menginternasionalisasi suatu subyek yang sebaliknya belum diatur oleh hukum internasional.
Contohnya sebagai berikut: “…if one state concludes a treaty with another state in which they agree to treat their nationals in a humane manner and to accord them certain human rights, they have to the extent of that agreement internationalized that particular subject.” Dengan demikian, negara melalui perjanjian internasional telah menginternasionalisasi individu sebagai subjek hukum dalam hukum internasional. Sehingga melalui perjanjian tersebut, negara harus memperlakukan individu sesuai dengan ketentuan hukum internasional.
Internasionalisasi tersebut, antara lain, dimulai pada abad ke-19 dengan adanya perjanjian internasional yang melarang perdagangan budak dan perjanjian internasional untuk melindungi minoritas kaum Kristen di Kekaisaran (Turki) Ottoman, Perjanjian Paris tanggal 30 Maret 1856, Perjanjian Berlin tanggal 13 Juli 1878. Perjanjian-perjanjian tersebut pelaksanaannya tergantung pada negara-negara yang meliputi the Concert of Europe untukmenjadi perantara secara diplomatik dan pada suatu waktu bahkan melakukan intervensi secara militer atas nama populasi Kristen di Kekaisaran Turki.
Perjanjian Berlin tahun 1878 merupakan hal penting yang menarik, karena status hukum khusus yang diberikan oleh perjanjian ini kepada beberapa kelompok agama (religious groups), perjanjian ini juga merupakan suatu model bagi Sistem Minoritas (the Minority System) yang selanjutnya dibentuk di dalam kerangka kerja Liga Bangsa-Bangsa (the League of Nations). Menurut Mochtar Kusumaatmadja, sekalipun dalam arti terbatas, individu sudah agak lama dianggap sebagai subjek hukum internasional.
Dalam Perjanjian Perdamaian Versailles tahun 1919, yang mengakhiri Perang Dunia I antara Jerman dengan Inggris dan Prancis, dengan masing-masing sekutunya, sudah terdapat pasal-pasal yang memungkinkan orang perorangan mengajukan perkara ke hadapan Mahkamah Arbitrase Internasional, sehingga dengan demikian sudah ditinggalkan dalil lama bahwa hanya negara yang bisa menjadi pihak di peradilan internasional.
Perkembangan lain yang juga menunjukkan bahwa individu sebagai subjek hukum internasional juga terlihat dalam keputusan Mahkamah Internasional Permanen dalam perkara yang menyangkut pegawai kereta api Danzig. Mahkamah memutuskan bahwa apabila suatu perjanjian internasional memberikan hak tertentu kepada orang perorangan, maka hak itu harus diakui dan mempunyai daya laku dalam hukum internasional, artinya diakui oleh suatu badan peradilan internasional.
Perkembangan untuk meletakkan tangung jawab langsung atas pelanggaran hukum internasional juga dikukuhkan dalam Genocide Convention (Konvensi tentang Pembunuhan Massal Manusia) yang telah diterima oleh Sidang Umum PBB tanggal 9 Desember 1948. Menurut ketentuan dalam konvensi ini, orang perorangan yang terbukti telah melakukan tindakan genosida harus dihukum, terlepas dari persoalan apakah mereka itu bertindak sebagai orang perorangan, pejabat pemerintah atau pimpinan pemerintahan atau negara.
Beberapa perjanjian internasional juga memungkinkan individu yang menjadi korban pelanggaran hak asasi manusia untuk mengajukan petisi atau individual communication secara langsung di forum pengadilan internasional: “Some international agreements confer standing on the individual victims of human rights violations, regardless of their nationality, to complaint again offending governments before international for a”.
Diberikannya hak bagi individu sebagai korban pelanggaran hak asasi manusia untuk mengajukan petisi secara langsung misalnya diatur dalam sistem hak asasi manusia regional Antar-Amerika dan sistem hak asasi manusia Afrika. Dalam sistem regional hak asasi manusia Eropa, setiap individu yang merasa telah dilanggar haknya memiliki hak untuk mengajukan pengaduan terhadap negaranya secara langsung kepada Sekretaris Jenderal Dewan Eropa di Strasbourg.
Diadilinya para pejabat negara secara individual, baik dari kalangan sipil maupun militer, yang diduga melakukan genosida, kejahatan kemanusiaan, dan kejahatan perang di Mahkamah Internasional Ad hoc untuk kasus-kasus di Bekas Yugoslavia (1993) dan Rwanda (1994), juga semakin membuktikan bahwa individu merupakan subjek hukum yang memiliki hak dan kewajiban tertentu menurut hukum internasional.
Terlebih lagi setelah didirikannya Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court/ICC) pada tahun 1998 berdasarkan Statuta Roma status individu sebagai subjek hukum internasional semakin jelas. Hal ini dikarenakan, ICC menerapkan prinsip tanggung jawab pidana secara individual (individual criminal responsibility) bagi orang-orang yang diadili atas kejahatan-kejahatan yang termasuk dalam yurisdiksinya seperti kejahatan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity), kejahatan perang (war crimes), dan kejahatan agresi (crime of aggression).
Nah itu dia bahasan dari pertanggungjawaban negara terhadap hak asasi manusia, dari bahasan diatas bisa diketahui mengenai penjelasan tanggung jawab negara atas HAM, penjelasan dasar dan sifat tanggung jawab negara, penjelasan doktrin imputabilitas, dan penjelasan konsep hak asasi manusia. Mungkin hanya itu yang bisa disampaikan dalam artikel ini, mohon maaf bila terjadi kesalahan dalam penulisan, terimakasih telah membaca artikel ini."God Bless and Protect Us"
Hak Asasi Manusia Dalam Pertanggungjawaban Negara
1. Tanggung Jawab Negara
Menurut Pasal 38 ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional (International Court of Justice/I.C.J), prinsip umum hukum yang diakui oleh bangsa-bangsa beradab (general principles of law recognized by civilized nations) merupakan salah satu sumber hukum internasional. Tanggung jawab negara sebagai suatu prinsip umum hukum yang dikenal dan diakui dalam hukum internasional juga merupakan salah satu sumber hukum yang berlaku bagi setiap negara.Tanggung jawab negara merupakan suatu prinsip fundamental dalam hukum internasional yang bersumber dari doktrin kedaulatan dan persamaan hak antar negara. Tanggung jawab negara timbul bila ada pelanggaran atas suatu kewajiban internasional untuk berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu, baik kewajiban tersebut berdasarkan suatu perjanjian internasional maupun hukum kebiasaan internasional.
Dengan menggunakan istilah pertanggungjawaban negara, F. Sugeng Istanto mengartikan tanggung jawab negara sebagai: “...kewajiban memberikan jawaban yang merupakan perhitungan atas suatu hal yang terjadi dan kewajiban untuk memberikan pemulihan atas kerugian yang mungkin ditimbulkannya.” Menurut Karl Zemanek, tanggung jawab negara memiliki pengertian sebagai suatu tindakan salah secara internasional, yang dilakukan suatu negara terhadap negara lain, yang menimbulkan akibat tertentu bagi (negara) pelakunya dalam bentuk kewajiban-kewajiban baru terhadap korban.
Menurut hukum internasional, pertanggungjawaban negara timbul dalam hal suatu negara merugikan negara lain. Pertanggungjawaban negara dibatasi pada pertanggungjawaban atas perbuatan yang melanggar hukum internasional. Perbuatan suatu negara yang merugikan negara lain tetapi tidak melanggar hukum internasional, tidak menimbulkan pertanggungjawaban negara. Misalnya, perbuatan negara yang menolak masuknya orang asing ke dalam wilayahnya, tidak menimbulkan pertanggungjawaban negara.
Hal itu disebabkan, negara menurut hukum internasional berhak menolak atau menerima orang asing masuk ke dalam wilayahnya. Menurut M. N. Shaw, yang menjadi karakteristik penting adanya tanggung jawab (negara) bergantung pada faktor-faktor dasar berikut, antara lain adanya suatu kewajiban hukum internasional yang berlaku antara dua negara tertentu; adanya suatu perbuatan atau kelalaian yang melanggar hukum internasional tersebut yang melahirkan tanggung jawab negara; adanya kerusakan atau kerugian sebagai akibat tindakan yang melanggar hukum atau kelalaian.
Dalam Rancangan tentang Tangung Jawab Negara atas Tindakan-Tindakan Salah Secara Internasional (Draft Articles on Responsibility of State for Internationally Wrongful Acts) (selanjutnya ditulis Draft ILC ) yang disusun oleh Komisi Hukum Internasional (International Law Commission/ILC) tahun 2001, dinyatakan bahwa tanggung jawab negara timbul manakala terjadi pelanggaran yang dikategorikan sebagai tindakan salah secara internasional dan timbul akibat dari satu atau beberapa tindakan (actions) atau pengabaian (ommissions) atau kombinasi dari keduanya.
Hal tersebut dirumuskan dalam Pasal 1 sebagai berikut: “Every internationally wrongful act of a State entails the international responsibility of that State.” Adapun yang dimaksud dengan act adalah suatu tindakan yang melanggar suatu kewajiban yang timbul dari kebiasaan atau perjanjian menyangkut kepentingan negara tertentu. Penentuan karakteristik act sebagai tindakan yang merupakan internationally wrongful act diatur menurut hukum internasional dan hal ini tidak dipengaruhi oleh ketentuan hukum nasional.
Artinya, sekalipun hukum nasional menyatakan bahwa tindakan tersebut adalah sah, tetapi apabila hukum internasional menyatakan sebaliknya, maka yang berlaku adalah apa yang telahditentukan oleh hukum internasional.88 Sedangkan menurut Karl Zemanek, internationally wrongful act ditentukan jika negara pelaku melanggar suatu kewajiban terhadap negara lain yang timbul dari kebiasaan atau perjanjian (“its author violates an obligation which custom or treaty establishes in favour of another State”).
Adapun yang merupakan unsur-unsur tindakan salah adalah perbuatan (action) atau pengabaian (ommission) yang dapat diatribusikan kepada negara dan melanggar suatu kewajiban internasional. Dengan demikian unsur-unsur tindakan salah secara internasional meliputi: tindakan yang dilakukan oleh negara harus dapat diatribusikan (imputable) kepada negara menurut hukum internasional dan tindakan tersebut harus menimbulkan suatu kewajiban hukum internasional yang berlaku bagi negara tersebut pada saat tindakan itu dilakukan.
Putusan ICJ menyangkut hal tersebut misalnya dinyatakan dalam Diplomatic and Consular Staff Case, bahwa untuk menimbulkan tanggung jawab bagi negara Iran ditentukan dua hal, yaitu: apakah tindakan yang terjadi dapat diatribusikan kepada negara Iran dan apakah tindakan Iran tersebut melanggar kewajiban menurut perjanjian atau ketentuan hukum internasional lainnya yang berlaku. Menyangkut tindakan negara yang berupa ommission, sehingga menimbulkan tanggung jawab negara, misalnya dapat dilihat dari putusan ICJ dalam Corfu Channel Case.
Dalam putusan tersebut dinyatakan bahwa negara Albania (yang saat itu sedang berperang dengan Yunani) dianggap mengetahui atau seharusnya mengetahui adanya ranjau (laut) di laut teritorialnya, namun tidak memberikan peringatan kepada negara ketiga (dalam hal ini negara Inggris). Tindakan salah secara internasional yang dilakukan oleh suatu negara tidak semata-mata menimbulkan hubungan hukum antara dua negara (bilateral), yaitu negara yang merugikan dan dirugikan.
Akan tetapi tindakantersebut dapat menimbulkan tanggung jawab terhadap beberapa negara, bahkan menimbulkan tanggung jawab terhadap masyarakat internasional secara keseluruhan. Mengenai tanggung jawab negara terhadap masyarakat internasional secara keseluruhan, antara lain, dapat mengacu kepada putusan yang dibuat oleh ICJ pada Barcelona Case. Dalam putusannya, dinyatakan bahwa setiap negara mempunyai kepentingan hukum (legal interest) dalam hal perlindungan hak asasi manusia dan pemenuhan kewajiban yang bersifat penting.
Sehingga pelanggaran terhadap kedua hal tersebut akan menimbulkan tanggung jawab negara. Sejalan dengan putusan di atas, Roberto Ago, salah seorang pelapor khusus (special rapporteur), dalam analisisnya berpendapat bahwa doktrin, yurisprudensi, praktik negara-negara dan PBB secara jelas telah mengidentifikasi beberapa tindakan yang merupakan internationally wrongful acts, yaitu agresi, genocide, apartheid, dan kolonialisme. Ketiganya merupakan kejahatan internasional.
Menyangkut tindakan agresi, genocide, apartheid dan kolonialisme, Manfred Mohr menyatakan bahwa tindakan tersebut adalah “serius” karena merupakan ancaman terhadap perdamaian dan keamanan internasional yang melanggar prinsip-prinsip dasar Piagam PBB dan tatanan hukum internasional. Secara substansial, hal tersebut merupakan pelanggaran atas kewajiban internasional yang penting bagi perlindungan kepentingan dari masyarakat internasional dan pelanggaran atas hal itu telah diakui sebagai kejahatan terhadap masyarakat internasional secara keseluruhan.
2. Dasar dan Sifat Tanggung Jawab Negara
Menurut hukum internasional, setiap negara memiliki kedaulatan. Dengan adanya kedaulatan, negara memiliki sejumlah kewenangan untuk melakukan berbagai tindakan.98Namun demikian, di dalam kedaulatan terkandung suatu kewajiban untuk tidak menyalahgunakan kedaulatan tersebut. Penyalahgunaan kedaulatan berupa tindakan salah secara internasional merupakan tindakan melanggar hukum internasional dan hal tersebut menimbulkan tanggung jawab negara.Karl Zemanek menjelaskan bahwa yang mendasari munculnya tanggung jawab negara pada hakikatnya adalah pelanggaran terhadap hak subjektif negara lain, pelanggaran terhadap norma hukum internasional yang merupakan jus cogens dan tindakan-tindakan yang berkualifikasi sebagai kejahatan internasional (misalnya: tindakan agresi, perbudakan, genosida, apartheid, kolonialisme, pencemaran lapisan atmosfer dan laut secara besar-besaran.
Dasar tanggung jawab negara berasal dari ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalam perjanjian internasional maupun hukum kebiasaan internasional. Hal tersebut, antara lain, diatur dalam Prinsip ke-21 Stockholm Declaration on the Human Environment tahun 1972, yaitu dinyatakan bahwa setiap negara, sesuai dengan Piagam PBB dan prinsip-prinsip hukum internasional, mempunyai hak berdaulat untuk mengeksploitasi sumber daya alam yang dimilikinya, namun memiliki tanggung jawab untuk tidak menimbulkan kerusakan terhadap lingkungan negara lain.
Tanggung jawab negara bersifat melekat pada negara, artinya suatu negara memiliki kewajiban untuk memberikan ganti rugi manakala negara tersebut menimbulkan atau menyebabkan kerugian kepada negara lain. Hal itu dinyatakan oleh Mahkamah Internasional Permanen (Permanent Court of International Justice/P.C.I.J) dalam putusannya terhadap Corzów Factory Case. Sifat melekatnya kewajiban negara yang menimbulkan kerugian untuk membayar ganti rugi, misalnya, diatur dalam Pasal 2 ayat (3) Perjanjian Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civiland Political Rights).
Pasal tersebut mengatur bahwa korban pelanggaran hak asasi manusia harus mendapatkan pemulihan efektif, meskipun pelanggaran tersebut dilakukan oleh pejabat resmi negara. Ini mewajibkan negara untuk mengizinkan aksi sipil dalam bentuk mengganti kerugian terhadap pelanggaran yang dilakukannya tergolong kejahatan terhadap kemanusiaan. Sebab, diyakini tidak ada vonis pengadilan yang dapat menghukum secara efektif kejahatan seperti itu.
Tanggung jawab negara menurut hukum internasional juga memiliki perbedaan dengan tanggung jawab negara menurut hukum nasional. Menurut hukum internasional, tanggung jawab negara timbul akibat dari pelanggaran terhadap hukum internasional. Walaupun hukum nasional menganggap suatu perbuatan bukan merupakan pelanggaran hukum, namun apabila hukum internasional menentukan sebaliknya maka negara harus tetap bertanggung jawab.
Akibat perbedaan antara pertanggungjawaban negara menurut hukum internasional dan hukum nasional ialah bahwa suatu negara tidak dapat menghindari pertanggungjawaban internasionalnya berdalihkan kebenaran menurut hukum nasionalnya. Dengan demikian dapat diambil suatu kesimpulan bahwa dalam hal menentukan adanya tanggung jawab negara hukum internasional mengatasi (mengesampingkan) hukum nasional. Hukum internasional menentukan kapan suatu negara dianggap bertanggung jawab atas tindakan dari organ-organnya.
3. Doktrin Imputabilitas
Sebagai suatu entitas abstrak, negara tidak mungkin dapat bertindak sendiri. Untuk melakukan tindakan tersebut dibutuhkan organ-organ untuk menjalankan tugas-tugas tertentu. Organ-organ ini kemudian diisi oleh individu-individu yang merupakan agen (aparat) negara yang memiliki kewenangan tertentu dari negara. Oleh karena itu, setiap negara memiliki struktur organisasi tertentu sebagai kepanjangan tangan negara.Setiap negara memiliki hak untuk membentuk struktur politik dan administratif maupun pemerintahannya sendiri. Secara umum negara-negara modern membentuk bermacam-macam kekuasaan negara dengan konstitusi dan membuat hukum yang mengatur, terutama, administrasi publik danlembaga peradilan. Dalam struktur ini, negara-negara menciptakan organ-organ yang berbeda, memberikan tiap-tiap organ tersebut suatu kewenangan khusus.
Pada dasarnya hukum nasional memberikan tiap-tiap organ kewenangan tersebut dan menyatakan organ yang mewakili negara dalam tiap-tiap kasus maupun luas kewenangannya, hal itu dikatakan pula, seberapa jauh tindakan-tindakannya dapat diatribusikan kepada negara. Namun demikian, dalam hal tanggung jawab internasional, hukum internasional menentukan kapan suatu negara bertanggung jawab atas tingkah laku para aparatnya atau seberapa jauh hal tersebut dianggap sebagai tindakan dari organ-organ negara.
Preseden bahwa negara harus bertanggung jawab atas tindakan dari organ-organnya sebenarnya telah lama diakui dalam putusan-putusan pengadilan internasional. Negara sebagai suatu entitas abstrak tidak mungkin dapat melakukan tindakan sendiri dan dimintai tanggung jawab atas tindakannya. Berkaitan dengan masalah tanggung jawab negara, dikenal doktrin imputabilitas (doctrine of imputability) yang menyatakan bahwa suatu negara bertanggung jawab atas kesalahan yang ditimbulkan oleh organnya.
Doktrin ini merupakan salah satu fiksi dalam hukum internasional. Latar belakang doktrin ini yaitu, bahwa negara sebagai suatu kesatuan hukum yang abstrak tidak dapat melakukan “tindakan-tindakan” yang nyata. Negara baru dapat melakukan tindakan hukum tertentu melalui pejabat-pejabat atau perwakilan-perwakilannya yang sah. Jadi tampak di sini adanya ikatan atau mata rantai yang erat antara negara dengan subjek hukum yang bertindak untuk negara.
Ikatan atau mata rantai yang dimaksud adalah bahwa subjek hukum tersebut bertindak dalam kapasitasnya sebagai petugas atau wakil negaranya. Negara tidak bertanggung jawab menurut hukum internasional atas semua tindakan atau perbuatan yang dilakukan oleh warga negaranya.Jadi, doktrin ini “mengasimilasikan” tindakan-tindakan pejabat-pejabat negara dengan negaranya yang menyebabkan negara tersebut bertanggung jawab atas semua kerugian atau kerusakan terhadap harta benda atau orang asing.
Mengenai doktrin imputabilitas, F. Sugeng Istanto berpendapat bahwa untuk menentukan adanya pertanggungjawaban negara atas kejahatan internasional itu dikenal ajaran pembebanan kesalahan kepada petugas negara (“the doctrine of imputability” atau “attributability”). Ajaran ini menyatakan bahwa kejahatan yang dilakukan oleh petugas negara atau orang yang bertindak atas nama negara dapat dibebankan kepada negara. Karena pembebanan itu, kejahatan yang dilakukan oleh pertugas tersebut menimbulkan pertanggung jawaban negara.”
Doktrin imputabilitas menegaskan bahwa tindakan salah dari organ negara (yang melaksanakan fungsi: legislatif, eksekutif, yudikatif atau fungsi-fungsi lainnya) dianggap merupakan suatu tindakan negara. Organ negara yang terdiri dari individu ataupun kumpulan individu bertindak berdasarkan atas kewenangan sah yang diberikan negara kepadanya. Oleh karena itu tindakan mereka harus dipertanggungjawabkan kepada negara.
Dengan demikian tangggung jawab negara akan muncul sebagai akibat dari perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh aparaturnya. Pada dasarnya hanya tindakan-tindakan yang memiliki unsur pemerintahan yang akibatnya dapat dipertanggungjawabkan kepada negara. Suatu tindakan yang tidak memiliki keterkaitan dengan negara (pemerintah) maka negara tidak dapat dimintai pertanggungjawaban.
Menurut F. Sugeng Istanto, tidak setiap kejahatan petugas negara dapat membebani pertanggungjawaban negara. Pembebanan itu dapat terjadi apabila perbuatan yang dilakukan oleh petugas negara merupakan pelanggaran atas kewajiban yang ditetapkan hukum internasional dan hukum internasional membebankan kejahatan itu kepada negaranya. Adanya suatu tanggung jawab negara, antara lain, ditentukan apabila tindakan untuk berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu dapat diatribusikan kepada negara.
Untuk menentukan hal itu secara tepat, sebaiknya diperhatikan kompetensi atau kewenangan dari organ negara yang diatur dalam konstitusi maupun di dalam praktiknya. Hal yang juga sangat penting menyangkut doktrin imputabilitas yaitu, kejelasan mengenai konsep organ negara. Konsep organ negara menurut sudut pandang hukum internasional adalah: “…an entity whose acts are attributed to the State according to the law of nations, whether directly or indirectly by referring back to the domestic law, it can be seen that it is difficult to draw up a complete list of such organs.
Jadi yang dimaksud dengan organ negara menurut hukum internasional adalah suatu entitas yang tindakannya secara langsung maupun tidak langsung diatribusikan kepada negara sebagaimana yang diatur dalam hukum nasional negara tersebut.
4. Konsep Hak Asasi Manusia
Isu tanggung jawab negara akan selalu terkait dengan langkah-langkah yang ditempuh oleh negara sebagai wujud dari tanggung jawabnya atas suatu tindakan salah yang menimbulkan kerugian terhadap negara lain. Dalam hukum tanggung jawab negara hal tersebut dikenal sebagai reparation. Dalam Black’s Law Dictionary, reparation diartikan sebagai tindakan untuk memberikan ganti rugi atas suatu kesalahan atau kompensasi atas kerugian atau kesalahan yang timbul dari perang atau sebagai pelanggaran atas suatu kewajiban internasional.Sedangkan menurut Ian Brownlie, reparation memiliki pengertian yang berhubungan dengan keseluruhan tindakan yang berupa pembayaran kompensasi atau restitusi, suatu permintaan maaf, penghukuman terhadap orang-orang yang bertanggung-jawab, langkah-langkah untuk mencegah terulangnya pelanggaran kewajiban dan bentuk-bentuk lain dari tanggung jawab yang bersifat non-material (satisfaction).
Reparations dapat pula berarti sebagai tindakan atau proses menyediakan suatu remedy atau berarti remedy itu sendiri. Terdapat suatu kecenderunganuntuk menggunakan ‘reparations’ sebagai suatu istilah umum untuk ‘berbagai metode yang tersedia bagi suatu negara untuk membebaskan atau melepaskan diri’ dari tanggung jawab internasional. Kadang-kadang istilah ‘reparations’ digunakan secara sempit dengan pengertian ganti rugi berupa uang; lebih umum, hal itu mengacu kepada seluruh upaya remedies yang tersedia atas pelanggaran suatu kewajiban internasional.
Erat kaitannya dengan reparation adalah masalah kompensasi atau ganti rugi. Menurut Schwarzenberger, kompensasi (ganti rugi) dapat berupa monetary compensation (ganti rugi dalam bentuk sejumlah uang), atau berupa satisfaction, yaitu ganti rugi dalam bentuk, misalnya saja, permintaan maaf yang biasanya dimintakan untuk kerugian-kerugian non-material atau moral (kepribadian suatu bangsa).
Monetary compensation dapat terdiri dari:
- Penggantian biaya pada waktu keputusan pengadilan dikeluarkan, meskipun jumlah penggantian tersebut menjadi lebih besar dari nilai pada waktu perbuatan melawan hukum oleh negara lain terjadi. Ketentuan ini tampak dalam kasus the Corzów (P.C.I.J., 1928)
- Kerugian tak langsung atau indirect damages. Sepanjang kerugian ini mempunyai kaitan langsung dengan tindakan tidak sah tersebut (Pengadilan Arbitrase antara Portugal dan Jerman tahun 1930)
- Hilangnya keuntungan yang diharapkan, sepanjang keuntungan tersebut mungkin dalam situasi atau perkembangan yang normal. Dalam kasus the Corzów Factory Merits, Mahkamah Internasional Permanen mempertimbangkan pula hal ini dalam putusannya
- Pembayaran terhadap kerugian atas bunga yang hilang karena adanya tindakan melanggar hukum.
Salah satu bentuk reparation adalah satisfaction. Ian Brownlie mendefinisikan satisfaction sebagai setiap upaya yang dilakukan oleh sipelanggar suatu kewajiban untuk mengganti kerugian menurut hukum kebiasaan atau suatu perjanjian yang dibuat oleh para pihak yang bersangkutan, yang bukan berupa restitution (restitusi atau pemulihan) atau compensation. Satisfaction merupakan pemulihan atas perbuatan yang melanggar kehormatan negara.
Satisfaction dilakukan melalui perundingan diplomatik dan cukup diwujudkan dengan permohonan maaf secara resmi atau jaminan tidak akan terulangnya perbuatan. Pecuniary reparation dilakukan apabila pelanggaran itu menimbulkan kerugian material.Prinsip Tanggung Jawab Negara dan Hak Asasi Manusia Secara historis, prinsip tanggung jawab negara memiliki kaitan erat dengan hak asasi manusia.
Hak asasi manusia yang dewasa ini telah diatur dalam hukum hak asasi manusia internasional, pada awalnya dikembangkan melalui (prinsip) tanggung jawab negara atas perlakuan terhadap orang asing (state responsibility for the treatment of aliens). Di dalam prinsip tersebut terkandung aturan mengenai cara bagi orang asing untuk mengajukan tuntutan akibat dari perlakuan yang salah dari negara terhadap dirinya.
Dari hal tersebut selanjutnya dikembangkan prosedur dalam hukum hak asasi manusia internasional yang memungkinkan para korban pelanggaran hak asasi manusia untuk mengajukan tuntutan secara langsung terhadap negara. Berkenaan dengan perlakuan terhadap orang asing, terdapat dua pendapat tentang bagaimana suatu negara memperlakukan orang asing tersebut. Pertama, pendapat yang datang dari negara-negara Barat (maju).
Menurut mereka, dalam memperlakukan orang asing di dalam negeri, suatu negara harus memenuhi apa yang mereka sebut sebagai “standar minimum internasional” (international minimum standard) terlepas dari bagaimana negara tersebut memperlakukan warga negaranya. Manakala standar minimum ini tidak terpenuhi, maka tanggung jawab negara akan timbul. Arti standar di sini bukan saja berarti standar hukumnya, tetapi juga standar dalam arti penegakan hukumnya (enforcement), yakni perlindungan yang efektif (menurut ketentuan hukum internasional).
Pendapat kedua datang dari negara-negara berkembang yang lahir sebagai reaksi dari pendapat pertama yang berpendapat bahwa dalam memperlakukan orang asing tidak berbeda atau sama saja sebagaimana halnya memperlakukan warga negaranya (national treatment standard). Negara-negara berkembang, khususnya negara-negara Amerika Latin, merasa bahwa konsep standar minimum internasional ini telah digunakan sebagi cara untuk campur tangan dalam urusan-urusan dalam negeri mereka.
Karena itulah untuk menangkal campur tangan ini, Carlos Calvo, seorang ahli hukum dan diplomat Argentina, mengusulkan suatu doktrin yang kemudian terkenal dengan nama doktrin Calvo. Doktrin ini menegaskan prinsip non intervensi yang disertai penegasan bahwa orang asing hanya berhakdiperlakukan seperti halnya warga negaranya dan karenanya untuk menuntut ia harus menempuh cara-cara yang tersedia di dalam negara tersebut.
Upaya untuk menyelesaikan perbedaan antara pendukung standar perlakuan nasional dan internasional terhadap warga negara asing dikemukakan oleh Garcia Amador dalam laporannya tentang tanggung jawab internasional kepada Komisi Hukum Internasional pada tahun 1956. Amador berpendapat bahwa dua pendekatan tersebut bermuara di satu titik temu, yaitu di dalam konsep pengaduan internasional terhadap hak asasi manusia yang esensial.
Untuk itu ia merumuskan dua prinsip perlakuan terhadap orang atau warga negara asing. Pertama, bahwa orang asing harus menikmati hak-hak serta jaminan yang sama dengan warga negara yang bersangkutan, maksudnya harus tidak kurang daripada hak-hak asasi/fundamental manusia yang diakui dan ditetapkan dalam hukum internasional. Kedua, tanggung jawab internasional suatu negara akan timbul apabila hak-hak asasi/fundamental manusia tersebut dilanggar.
Hukum tanggung jawab negara atas kerugian orang asing tersebut juga dapat dipandang sebagai perintis jalan bagi hukum hak asasi manusia internasional, sekalipun terjadi perdebatan yang panjang perihal apakah standar perlakuan yang diwajibkan adalah standar ‘minimum internasional’ ataukah standar ‘perlakuan nasional’. Adapun kaidah hukum yang berlaku untuk melakukan tuntutan oleh negara-negara atas nama warga negaranya bersumber dari general principles of law recognized by civilized nations dan selanjutnya diterapkan oleh para arbitrator dan pengadilan internasional.
Sedangkan, menurut the Restatement of the Foreign Relations Law of the United States (3rd) (1987), dewasa ini negara-negara mulai menggunakan norma-norma hak asasi manusia sebagai dasar untuk mengajukan tuntutan atas kerugian warga negaranya: “The Restatement goes on to point out that “as the law of human rights developed, the law of responsibility for injury to aliens, as applied to natural persons, began to refer to violations of their ‘fundamental human rights’, and states began to invoke contemporary norms of human rights as the basis for claims for injury to their national.
”Bedasarkan penjelasan di atas, terlihat bahwa pada awalnya individu lebih mendapatkan perlindungan dari negara manakala ia berada di negara asing. Karena, apabila ia mendapat perlakuan yang tidak sesuai dengan standar-standar minimum tertentu (certain minimum standards), maka negara asing tersebut memiliki kewajiban hukum untuk memberikan kompensasi kepada orang asing yang dirugikan. Negara yang warga negaranya dirugikan dapat meminta kompensasi atas kerugian yang dialami untuk kepentingan warganya.
Hal di atas terjadi, karena pada saat itu individu dianggap bukan merupakan subjek hukum internasional. Oleh sebab itu, dalam konteks hukum internasional, suatu negara hanya bertanggung jawab untuk melindungi hak asasi manusia terbatas bagi orang asing. Sedangkan perlindungan hak asasi manusia bagi warga negaranya belum diatur oleh hukum internasional dan hal ini masih diangggap sebagai yurisdiksi domestik (domestic jurisdiction) negara.
Dalam perkembangan selanjutnya, hukum internasional menganggap bahwa individu merupakan subjek hukum internasional. Karl Josef Partsch menyatakan bahwa transformasi perkembangan kedudukan individu dalam hukum internasional merupakan perkembangan yang paling luar biasa dalam hukum internasional saat ini. Merupakan suatu prinsip hukum internasional yang telah dikenal bahwa suatu negara dapat membatasi kedaulatannya dengan perjanjian internasional (treaty) dan kemudian menginternasionalisasi suatu subyek yang sebaliknya belum diatur oleh hukum internasional.
Contohnya sebagai berikut: “…if one state concludes a treaty with another state in which they agree to treat their nationals in a humane manner and to accord them certain human rights, they have to the extent of that agreement internationalized that particular subject.” Dengan demikian, negara melalui perjanjian internasional telah menginternasionalisasi individu sebagai subjek hukum dalam hukum internasional. Sehingga melalui perjanjian tersebut, negara harus memperlakukan individu sesuai dengan ketentuan hukum internasional.
Internasionalisasi tersebut, antara lain, dimulai pada abad ke-19 dengan adanya perjanjian internasional yang melarang perdagangan budak dan perjanjian internasional untuk melindungi minoritas kaum Kristen di Kekaisaran (Turki) Ottoman, Perjanjian Paris tanggal 30 Maret 1856, Perjanjian Berlin tanggal 13 Juli 1878. Perjanjian-perjanjian tersebut pelaksanaannya tergantung pada negara-negara yang meliputi the Concert of Europe untukmenjadi perantara secara diplomatik dan pada suatu waktu bahkan melakukan intervensi secara militer atas nama populasi Kristen di Kekaisaran Turki.
Perjanjian Berlin tahun 1878 merupakan hal penting yang menarik, karena status hukum khusus yang diberikan oleh perjanjian ini kepada beberapa kelompok agama (religious groups), perjanjian ini juga merupakan suatu model bagi Sistem Minoritas (the Minority System) yang selanjutnya dibentuk di dalam kerangka kerja Liga Bangsa-Bangsa (the League of Nations). Menurut Mochtar Kusumaatmadja, sekalipun dalam arti terbatas, individu sudah agak lama dianggap sebagai subjek hukum internasional.
Dalam Perjanjian Perdamaian Versailles tahun 1919, yang mengakhiri Perang Dunia I antara Jerman dengan Inggris dan Prancis, dengan masing-masing sekutunya, sudah terdapat pasal-pasal yang memungkinkan orang perorangan mengajukan perkara ke hadapan Mahkamah Arbitrase Internasional, sehingga dengan demikian sudah ditinggalkan dalil lama bahwa hanya negara yang bisa menjadi pihak di peradilan internasional.
Perkembangan lain yang juga menunjukkan bahwa individu sebagai subjek hukum internasional juga terlihat dalam keputusan Mahkamah Internasional Permanen dalam perkara yang menyangkut pegawai kereta api Danzig. Mahkamah memutuskan bahwa apabila suatu perjanjian internasional memberikan hak tertentu kepada orang perorangan, maka hak itu harus diakui dan mempunyai daya laku dalam hukum internasional, artinya diakui oleh suatu badan peradilan internasional.
Perkembangan untuk meletakkan tangung jawab langsung atas pelanggaran hukum internasional juga dikukuhkan dalam Genocide Convention (Konvensi tentang Pembunuhan Massal Manusia) yang telah diterima oleh Sidang Umum PBB tanggal 9 Desember 1948. Menurut ketentuan dalam konvensi ini, orang perorangan yang terbukti telah melakukan tindakan genosida harus dihukum, terlepas dari persoalan apakah mereka itu bertindak sebagai orang perorangan, pejabat pemerintah atau pimpinan pemerintahan atau negara.
Beberapa perjanjian internasional juga memungkinkan individu yang menjadi korban pelanggaran hak asasi manusia untuk mengajukan petisi atau individual communication secara langsung di forum pengadilan internasional: “Some international agreements confer standing on the individual victims of human rights violations, regardless of their nationality, to complaint again offending governments before international for a”.
Diberikannya hak bagi individu sebagai korban pelanggaran hak asasi manusia untuk mengajukan petisi secara langsung misalnya diatur dalam sistem hak asasi manusia regional Antar-Amerika dan sistem hak asasi manusia Afrika. Dalam sistem regional hak asasi manusia Eropa, setiap individu yang merasa telah dilanggar haknya memiliki hak untuk mengajukan pengaduan terhadap negaranya secara langsung kepada Sekretaris Jenderal Dewan Eropa di Strasbourg.
Diadilinya para pejabat negara secara individual, baik dari kalangan sipil maupun militer, yang diduga melakukan genosida, kejahatan kemanusiaan, dan kejahatan perang di Mahkamah Internasional Ad hoc untuk kasus-kasus di Bekas Yugoslavia (1993) dan Rwanda (1994), juga semakin membuktikan bahwa individu merupakan subjek hukum yang memiliki hak dan kewajiban tertentu menurut hukum internasional.
Terlebih lagi setelah didirikannya Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court/ICC) pada tahun 1998 berdasarkan Statuta Roma status individu sebagai subjek hukum internasional semakin jelas. Hal ini dikarenakan, ICC menerapkan prinsip tanggung jawab pidana secara individual (individual criminal responsibility) bagi orang-orang yang diadili atas kejahatan-kejahatan yang termasuk dalam yurisdiksinya seperti kejahatan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity), kejahatan perang (war crimes), dan kejahatan agresi (crime of aggression).
Nah itu dia bahasan dari pertanggungjawaban negara terhadap hak asasi manusia, dari bahasan diatas bisa diketahui mengenai penjelasan tanggung jawab negara atas HAM, penjelasan dasar dan sifat tanggung jawab negara, penjelasan doktrin imputabilitas, dan penjelasan konsep hak asasi manusia. Mungkin hanya itu yang bisa disampaikan dalam artikel ini, mohon maaf bila terjadi kesalahan dalam penulisan, terimakasih telah membaca artikel ini."God Bless and Protect Us"
