Sumber Hak Asasi Manusia Dan Sifat Dasar Hak Asasi Manusia
Wednesday, April 1, 2020
Edit
HAM- marupakan sebuah hak asasi manusia yang harus dimiliki bagi setiap manusia untuk memperoleh hidup yang sejahtera. Hak asasi manusia berfungsi apabila dikaitkan dengan kawajiban dan tanggung jawab seseorang untuk menjalani kehidupan agar tetap didalam damai. Namun sebelum lanjut membaca artikel ini akan membahas mengenai sumber-sumber dan sifat Hak Asasi Manusia (HAM), untuk mengetahui lebih lanjut silahkan simak bahasan diberikut ini.
Sumber Hukum dan Sifat Dasar Hak Asasi Manusia
1. Sumber-Sumber Hukum
Sumber hukum internasional merupakan bahan dan proses di mana aturan dan kaidah-kaidah yang mengatur komunitas internasional dikembangkan. Kaidah-kaidah tersebut telah dipengaruhi oleh sejumlah teori politik dan hukum.Pada abad ke-19, telah diketahui oleh kaum positivis hukum bahwa seorang penguasa dapat membatasi kewenangannya untuk bertindak dengan memberikan persetujuan terhadap sebuah perjanjian (treaty) sesuai dengan kaidah pacta sunt servanda.
Pandangan konsesual terhadap hukum internasional ini tercermin dalam Statuta Pengadilan Permanen Peradilan Internasional tahun 1920 dan termaktub dalam Pasal 38 ayat (1) Statuta Pengadilan Internasional.
Hukum internasional konvensional diturunkan dari perjanjian internasional dan dapat berbentuk apapun yang disepakati oleh negara-negara yang terlibat dalam perjanjian tersebut.
Perjanjian bisa dibuat berdasarkan hal apapun kecuali sampai pada batas di mana perjanjian tersebut berlawanan dengan hukum internasional yang mencakup standard dasar tindakan internasional atau kewajiban dari negara anggota dibawah Piagam PBB.
Perjanjian internasional menciptakan hukum bagi pihak-pihak yang terlibat dalam kesepakatan. Prinsip umum yang diterima dan dipraktekkan secara mayoritas oleh berbagai sistem hukum nasional merupakan sumber sekunder bagi hukum internasional.
Beberapa keadaan di mana tidak satupun hukum konvensional maupun tradisional bisa diterapkan. Dalam kasus ini prinsip umum bisa dianggap sebagai peraturan hukum internasional karena merupakan prinsip dasar yang umum diterima di beberapa sistem hukum besar di dunia dan tidak bisa dianggap sebagai klaim internasional.
Perjanjian-perjanjian itu juga bisa menghasilkan hukum kebiasaan internasional (customary international law) ketika dimaksudkan untuk ditaati secara menyeluruh dan diterima secara luas. Hukum kebiasaan dan hukum yang dibentuk oleh perjanjian internasional memiliki keabsahan yang sama dengan hukum internasional.
Para pihak dapat meminta kehadiran pihak berwenang yang paling tinggi sebagai salah satu sumber penyelesaian dari pertikaian berkaitan dengan perjanjian. Namun, beberapa peraturan hukum internasional diakui oleh komunitas internasional sebagai peremptory, tidak mengizinkan adanya derogasi. Aturan semacam itu bisa dirubah atau dimodifikasi hanya oleh norma peremptory dari hukum internasional.
Mengenai pertanyaan preferensi antara sumber-sumber hukum internasional, aturan-aturan yang diciptakan melalui perjanjian akan diutamakan jika instrumen semacam itu ada. Juga dimungkinkan, meskipun jarang terjadi, bagi sebuah perjanjian untuk dimodifikasi oleh praktik-praktik yang muncul antara pihak-pihak yang terlibat dalam perjanjian itu.
Keadaan lain di mana sebuah peraturan akan mengambil alih peraturan perjanjian internasional adalah ketika aturan itu memiliki status khusus jus cogens.
A. Hukum Kebiasaan Internasional
Dalam hukum internasional, customary international law (hukum kebiasaan internasional) adalah hukum negara atau norma-norma hukum yang dibentuk melalui pertukaran kebiasaan antara negara-negara dalam kurun waktu tertentu, baik yang berdasarkan diplomasi atau agresi. Secara khusus,kewajiban hukum dianggap muncul antara negara-negara untuk mengangkat urusan-urusan mereka secara konsisten dengan tindakan yang diterima di masa lampau. Kebiasan-kebiasaan ini bisa juga berubah berdasarkan penerimaan atau penolakan dari negara-negara dengan tindakan tertentu.
Customary international law juga bisa dibedakan dengan hukum perjanjian yang terdiri dari perjanjian-perjanjian (treaties) eksplisit antar negara untuk mengasumsikan kewajiban. Namun, berbagai perjanjian merupakan usaha-usaha untu mengkodifikasi hukum tradisional yang telah ada sebelumnya.
Sebagai tambahan dari perjanjian dan treaty yang terlihat maupun yang diratifikasi yang menciptakan hukum internasional, pengadilan internasional, para sarjana hukum, ahli hukum, PBB dan negara-negara anggotanya, dengan mengacu pada customary international law, menggabungkannya dengan prinsip-prinsip umum hukum, menjadikannya sumber-sumber utama hukum internasional.
Mayoritas terbesar pemerintah di dunia ini menerima secara prinsip keberadaan customary international law, meskipun ada beberapa pendapat berbeda terhadap aturan-aturan yang ada di dalamnya.
Customary international law terdiri dari peraturan hukum yang diturunkan dari tindakan–tindakan konsisten negara-negara yang melakukannya karena percaya bahwa hukum mensyaratkan mereka untuk bertindak sedemikian.
Hal ini mengikuti bahwa customary international law dapat dibedakan dengan pengulangan yang meluas dari negara dengan tindakan internasional serupa selama kurun waktu tertentu (tindakan negara), tindakan-tindakan harus muncul sebagai kewajiban (opinio juris), tindakan-tindakan harus diambil oleh sejumlah besar negara dan tidak bisa ditolak oleh sejumlah besar negara.
Customary international law dihasilkan dari praktik umum dan konsisten sejumlah negara yang mengikuti kewajiban hukumnya, sedemikian sehingga hal tersebut menjadi sebuah kebiasaan. Jika hal itu terjadi, tidaklah menjadi kewajiban bagi sebuah negara untuk menandatangani perjanjian untuk menerapkan customary international law.
Dengan kata lain, customary international law harus diturunkan dari konsensus yang jelas di antara para negara, seperti yang terlihat pada tindakan meluas dan rasa kewajiban yang nyata. Customary international law karenanya dapat dinyatakan oleh mayoritas negara-negara dengan tujuannya sendiri, hal ini bisa dibedakan melalui praktik meluas yang sesungguhnya.
Beberapa prinsip hukum kebiasaan internasional telah mencapai kekuatan sebagai norma peremptory yang tidak bisa dilanggar ataupun dirubah kecuali oleh norma dengan kekuatan serupa.
Norma-norma ini dikatakan mendapatkan kekuatan mereka dari penerimaan secara universal misalnya pelarangan terhadap apartheid, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, pembajakan, genosida, perbudakan dan penyiksaan.
Sebuah normaperemptory (juga disebut sebagai jus cogens, Latin) merupakan prinsip dasar hukum internasional yang dianggap telah diterima di komunitas internasionalnegara secara menyeluruh.
Tidak seperti hukum perjanjian pada umumnya yang mesyaratkan secara tradisional adanya treaty dan memungkinkan perubahan kewajiban antar negara melalui perjanjian, norma peremptory tidak bisa dilanggar oleh negara manapun.
Di bawah Vienna Convention on the Law and Treaties, perjanjian apapun yang berlawanan dengan norma peremptory tidak sah dan dianggap tidak ada. Treaty memungkinan munculnya norma peremptory baru, namun treaty itu sendiri bukanlah norma peremptory.
B. Hukum Perjanjian Internasional (Treaty)
Sebuah perjanjian merupakan perjanjian yang mengikat di bawah hukum internasional yang dibuat para pelaku hukum internasional, yaitu negara dan organisasi internasional.Setelah menandatangani instrumen nasional, pihak yang sepakat untuk melibatkan diri mereka secara baik untuk memastikan bahwa tidak ada satu hal pun yang akan dilakukan yang dapat melawan tujuan dan obyek perjanjian internasional, menangguhkan ratifikasi.
Treaty dinamai dengan berbagai nama: treaty, perjanjian internasional, protokol, kovenan, konvensi, pertukaran surat, pertukaran catatan, dll. Tanpa mengindahkan nama yang dipilih, semua perjanjian internasional ini di bawah hukum internasional berdiri sejajar dan peraturan-peraturannya bernilai sama.
Dapat atau tidaknya semua perjanjian internasional itu dianggap sebagai sumber hukum, kesemuanya merupakan sumber kewajiban bagi semua pihak yang terlibat di dalamnya.
Pasal 38 ayat (1) huruf (a) dari Statuta Peradilan Internasional tahun 1946, yang menggunakan istilah “konvensi internasional”, memusatkan pada perjanjian internasional sebagai sumber kewajiban kontraktual namun juga mengakui kemungkinan sebuah negara menyatakan menerima kewajiban suatu perjanjian internasional meskipun bukanlah merupakan pihak secara formal.
Perjanjian internasional bisa secara gamblang dibandingkan dengan kontrak, keduanya merupakan kesepakatan dari pihak-pihak terkait untuk menerima kewajiban di antara keduanya, dan salah satu pihak yang gagal memenuhi kewajibannya bisa dimintai pertanggungjawaban di bawah hukum internasional akan pelanggaran tersebut.
Prinsip utama dari hukum perjanjian terlihat dalam maxim pacta sunt servanda-- “pakta-pakta haruslah dihormati.” Namun, di beberapa negara, perjanjian internasional dianggap sejajar dengan perundang-undangan domestik.
Agar aturan berbasis perjanjian internasional menjadi sumber hukum, maka aturan itu harus mampu mempengaruhi pihak yang tidak terlibat atau berdampak bagi pihak-pihak terlibat secara lebih luas daripada pihak-pihak yang secara khusus terkena perjanjian internasional itu sendiri.
Beberapa perjanjian internasional merupakan hasil dari kodifikasi hukum kebiasaan internasional yang ada, misalnya, hukum yang mengatur hal-hal umum secara global dan jus ad bellum. Karena tujuannya membuat kode penerapan secara umum, efektifitasnya tergantung pada serangkaian negara yang meratifikasi atau menyepakati konvensi tertentu.
Secara relatif, instrumen semacam itu meminta sejumlah pihak untuk mengakuinya sebagai hukum internasional dalam hukum domestik mereka sendiri. Contoh yang paling nyata adalah Konvensi Jenewa tahun 1949 bagi Perlindungan Korban Perang. Perjanjian internasional tidaklah secara permanen mengikat pihak yang menandatangani perjanjian internasional.
Sebagai kewajiban dari hukum internasional, secara tradisional dipandang sebagai hal yang muncul hanya dari negara-negara yang menyepakati. Banyak perjanjian internasional yang memungkinkan sebuah negara untuk membatalkan kepihakannya selama hal tersebut mematuhi tata laksana tertentu dalam pemberitahuannya.
Namun, banyak juga perjanjian internasional yang melarang pembatalan. Jika pembatalan sebuah negara disetujui, maka kewajibannya di bawah perjanjian internasional tersebut dianggap selesai.
Ketika sebuah negara membatalkan diri dari sebuah perjanjian internasional multilateral, perjanjian internasional itu masih berlaku bagi pihak lain, kecuali tentu saja bila ditafsirkan sebagai perjanjian internasional antar pihak negara yang masih tersisa dalam perjanjian internasional tersebut.
C. Kesepakatan Bilateral dan Regional
Kesepakatan multilateral memiliki beberapa pihak dan menghasilkan hak serta kewajiban bagi pihak-pihak terkait.Kesepakatan multilateral seringkali, namun tidak selalu, membuka diri bagi negara manapun dan mengikat secara regional. Kesepakatan semacam itu secara umum dikenal sebagai “perjanjian”.
Di sisi lain, kesepakatan bilateral dinegosiasikan di antara sejumlah kecil negara, biasanya hanya dua yang menelurkan hak serta kewajiban hukum di antara dua negara tersebut saja.
Namun mungkin saja kesepakatan bilateral memiliki lebih dari dua pihak, misalnya kesepakatan bilateral antara Swiss dan Uni Eropa setelah penolakan Swiss terhadap Wilayah Ekonomi Eropa.
Kesepakatan ini masih dianggap bilateral bukan multilateral. Pihak-pihak terkait dalam kesepakatan itu dibagi menjadi dua kelompok, Swiss di satu pihak dan Uni Eropa serta anggota-anggotanya di pihak lain.
Sekarang ini terdapat lebih dari dua puluh pejanjian multilateral penting yang mengatur tentang hak asasi manusia, yang berisi kewajiban-kewajiban yang secara hukum mengikat negara-negara yang menjadi pihak dalam perjanjian tersebut.
Di antaranya yang paling penting adalah Piagam PBB itu sendiri. Piagam ini mengikat hampir seluruh negara di dunia dan setidaknya menetapkan kewajiban umum anggota PBB untuk menghormati dan memajukan hak asasi manusia.
Kewajiban hak asasi manusia yang lebihkhusus diatur dalam serangkaian perjanjian hak asasi manusia internasional yang disponsori PBB, seperti Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (KIHSP), Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (KIHESB), Konvensi Internasional Menentang Penyiksaan, Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial dan sebagainya.
Perjanjian lain yang relevan dan tidak kalah penting juga disepakati di bawah ILO, UNESCO, dan badan-badan PBB yang lain. Ada juga beberapa mekanisme hak asasi manusia regional untuk melindungi hak asasi manusia termasuk Pengadilan Hak Asasi Manusia Eropa, yang merupakan satu-satunya hukum internasional dengan kewenangan untuk mengurusi kasus-kasus yang diajukan secara individual (bukan negara) dan Komisi Hak Asasi Manusia Afrika; Inter-American Commission on Human Rights; Inter-American Court of Human Rights.
2. Sumber-Sumber Yang Tidak Mengikat Secara Hukum
Berikut ini adalah sumber-sumber yang tidak mengikat secara hukum :
A. Deklarasi Organisasi-Organisasi Inernasional dan Regional
Terdapat sejumlah besar deklarasi internasional, resolusi, dan rekomendasi yang relevan yang menjadi acuan dalam perlindungan dan penegakan hak asasi manusia yang disahkan oleh PBB atau organisasi internasional lain, atau melalui sebuah konferensi internasional.Meskipun instrumen-instrumen ini tidak mengikat secara hukum, instrumen-instrumen ini setidaknya menetapkan standar-standar yang diakui secara luas dan seringkali digunakan untuk menyelesaikan masalah-masalah hak asasi manusia di forum internasional.
Yang paling penting di antaranya adalah Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia yang disahkan secara aklamasi olehMajelis Umum PBB tahun 1948, yang juga menjadi kerangka dasar bagi banyak instrumen turunannya berupa perjanjian-perjanjian hak asasi manusia Satu lagi yang juga dianggap sebagai deklarasi yang sangat penting adalah hasil dari konferensi mengenai keamanan dan kerjasama di Eropa tahun 1975 (Deklarasi Helsinki), yang punya pengaruh politik sangat kuat dalam upaya perlindungan hak asasi manusia, khususnya di Eropa.
Contoh lainnya termasuk Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat, Deklarasi Hak Anak, serta Deklarasi tentang Standar Perlakuan Minimum terhadap Tahanan/Narapidana.
B. Kebijakan dan Praktek Internasional
Sumber hukum hak asasi manusia yang juga bersifat tidak mengikat namun dapat dijadikan rujukan komparatif adalah berbagai keputusan dan tindakan oleh ogan-organ PBB atau badan-badan internasional lainnya guna mendukung usaha-usaha khusus dalam menegakkan dan melindungi hak asasi manusia.Contohnya mencakup pendapat atau rekomendasi Mahkamah Internasional (International Court of Justice, ICJ) mengenai keberlanjutan kehadiran Afrika Selatan di Namibia (Afrika Barat Daya); Resolusi Dewan Keamanan yang menetapkan sanksi-sanksi misalnya terhadap Rhodesia tahun 1968 dan Afrika Selatan tahun 1977;
Resolusi Majelis Umum PBB mengenai masalah hak asasi manusia, misalnya, di Afrika Selatan, Chile, dan Timur Tengah; Resolusi dan Kebijakan badan-badan PBB lainnya yang mengatur hak asasi manusia; pembentukan Komite HAM PBB berdasarkan Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik;
Rekomendasi Komite Ahli yang dibentuk berdasarkan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial; berbagai keputusan yang dikeluarkan oleh Komisi Eropa dan Mahkamah Eropa dalam bidang hak asasi manusia; serta Laporan Investigasi yang dibuat oleh Komisi Inter-Amerika tentang hak asasi manusia.
C. Kebijakan dan Praktek Nasional
Terdapat juga hukum, peraturan, keputusan pengadilan nasional, dan keputusan pemerintah di berbagai negara yang berkaitan dengan pelaksanaan tujuan-tujuan hak asasi manusia internasional baik yang berlaku domestik maupun dalam konteks hubungan dengan negara lain.Di Amerika Serikat, misalnya, instrumen domestik ini mencakup ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Konstitusi Amerika Serikat dan Pernyataan Hak Asasi Manusia; perundang-undangan yang melarang praktek diskriminasi dan perbudakan serta memastikan hak-hak politik perempuan;
peraturan perundangan yang dibuat khusus untuk melaksanakan sanksi PBB terhadap Afrika Selatan; peraturan yang melarang bantuan militer kepada negara yang pemerintahnya diduga terlibat secara sistematik melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang diakui secara internasional;
keputusan-keputusan yudisial tentang aspek-aspek hukum hak asasi manusia internasional; keputusan-keputusan pengadilan dan pemerintahan negara bagian dan/atau distrik yang menangani berbagai aspek kegiatan korporasi Amerika di Afrika Selatan.
Demikian pula banyak negara lain, terutama negara-negara yang menjadi pihak Konvensi Eropa tentang Hak Asasi Manusia, mempunyai badan-badan hukum domestik yang mengeluarkan preseden yang relevan dengan hukum hak asasi manusia internasional.
3. Praktek Nasional Menyangkut Norma HAM Yang Bersifat Mengikat
Berikut ini adalah praktek nasional menyangkut norma HAM yang bersifat mengikat :A. Mengidentifikasi Norma-Norma Hak Asasi Manusia
Berbeda dengan negara-negara, masyarakat bangsa-bangsa tidak mempunyai badan pembuat undang-undang yang diberi kewenangan untuk memberlakukan hukum yang secara langsung dan seragam mengikat semua negara.Alih-alih, bangsa-bangsa menetapkan kewajiban-kewajiban yang mengikat secara hukum di antara mereka sendiri dengan cara lain, yang pada pokoknya memberi persetujuan tegas kepada suatu peraturan dengan meratifikasi suatu perjanjian tertentu atau perjanjian internasional lainnya atau lewat penerimaan suatu peraturan secara luas dalam sebagai hukum kebiasaan internasional yang mengikat.
Dalam praktek, sumber hukum hak asasi manusia internasional yang paling penting dan berguna barangkali adalah perjanjian-perjanjian internasional yang secara langsung menimbulkan kewajiban bagi para negara pihak.
Namun perlu diingat juga bahwa banyak norma-norma hak asasi manusia yang penting justru terdapat dalam instrumen hukum hak asasi manusia internasional di luar perjanjian, yang sifatnya tidak mengikat secara hukum, namun tetap dapat digunakan sebagai rujukan.
Untuk menentukan apakah sebuah norma hak asasi manusia internasional secara hukum relevan dengan suatu situasi hak asasi manusia tertentu di suatu negara tertentu, penting untuk melihat:
- Apakah instrumen yang memuat norma tersebut mengandung bahasa yang tegas yang “mewajibkan” negara menghormati hak asasi manusia tertentu yang sedang menjadi persoalan.
- Apakah instrumen yang memuat norma tersebut sudah berlaku, karena seringkali beberapa instrumen, khususnya yang berbentuk perjanjian multilateral, mensyaratkan jumlah minimum ratifikasi untuk pemberlakuannya.
- Apakah negara yang bersangkutan telah meratifikasi instrumen internasional tersebut, karena biasanya penandatanganan (signatory) saja tidak cukup untuk mengikat suatu negara terhadap kewajiban-kewajiban suatu perjanjian multilateral.
- Apakah negara yang bersangkutan menyatakan keberatan-keberatan yang memungkinkan negara tersebut memodifikasi kewajibannya terhadap perjanjian terkait.
Dalam konteks ini juga perlu diingat bahwa beberapa perjanjian hak asasi manusia telah diratifikasi secara luas sehingga dianggap menjadi instrumen hukum kebiasan internasional yang berlaku universal, dan dianggap mengikat bahkan pada negara yang tidak meratifikasinya, misalnya Konvensi Menentang Penyiksaan, Konvensi Genosida, dan Konvensi Penghapusan Diskriminasi Rasial, juga Resolusi Majelis Umum PBB yang mengakui Prinsip-prinsip Nuremberg sebagai hukum internasional.
Bahkan kalaupun instrumen-instrumen hak asasi manusia internasional tertentu tidak mengikat secara hukum pada suatu negara, baik karena negara tersebut bukan negara pihak maupun karena instrumen tersebut tidak dianggap sebagai instrumen hukum kebiasaan internasional, instrumen tersebut adakalanya mempunyai kekuatan moral atau politik yang dapat digunakan untuk menekan pemerintah suatu negara untuk mematuhi norma hak asasi manusia tertentu.
B. Bukti-Bukti yang Bersifat Mengikat
Hukum internasional, termasuk hukum hak asasi manusia, terutama bisa diterapkan pada negara-negara (nations) ketimbang pada pribadi-pribadi (individuals). Akibatnya, peraturan internasional ini pada umumnya dapat menjadi suatu sumber kewajiban hukum domestik bagi para pejabat suatu negara mengenai hak-hak domestik bagi warga negaranya sendiri lewat dimasukkannya dengan sesuatu cara ke dalam hukum domestik negara itu sendiri.Dengan cara inilah, sebuah instrumen hukum internasional yang mengandung norma-norma hak asasi manusia yang tadinya tidak secara langsung mengikat, seperti misalnya Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, dibuat mengikat dalam yurisdiksi hukum domestik negara-negara.
Secara umum, sebuah norma hak asasi manusia dibuat menjadi mengikat secara hukum melalui dua cara :
- Penggunaan Norma-Norma di Pengadilan
Pengadilan-pengadilan nasional mungkin bersifat responsif terhadap argumen bahwa hukum domestik harus ditafsirkan sesuai dengan standar hak asasi manusia internasional, terutama dalam kasus-kasus di mana instrumen hukum domestik tidak sesuai atau bahkan merupakan pelanggaran terhadap hukum hak asasi manusia internasional.
Putusan pengadilan domestik yangmerujuk pada instrumen hak asasi manusia internasional sebagai pertimbangan hukumnya, seringkali menjadi yurisprudensi praktek hukum selanjutnya di negara tersebut, dan bukan tidak mungkin pada akhirnya akan menjadi pemicu amandemen instrumen hukum nasional yang tidak sesuai atau bahkan merupakan pelanggaran terhadap hukum hak asasi manusia internasional. - Penggunaan Norma-Norma dalam Konstitusi
Negara-negara dapat memasukkan norma-norma hak asasi manusia internasional yang dituangkan dalam deklarasi-deklarasi hak asasi manusia ke dalam hukum domestik mereka; hak-hak yang diberikan kemudian dapat digunakan oleh para individu sebagai bagian dari hukum negara tersebut.
Apa dan bagaimana pemasukan itu berlangsung tergantung pada sistem dan mekanisme hukum masing-masing negara itu sendiri, dan negara-negara berbeda dalam hal ini. Standar hak asasi manusia yang dicerminkan dalam hukum kebiasaan internasional juga dapat dimasukkan ke dalam hukum nasional (sekurang-kurangnya dengan menghilangkan peraturan perundangan yang bertentangan atau melalui praktek/kebijakan pemerintah) sebagai bagian dari “hukum negara”.
Beberapa negara bahkan mengambil langkah yang lebih “radikal” dengan membuat konstitusi atau peraturan perundangan yang secara eksplisit menyadur/mengutip norma-norma hak asasi manusia internasional, misalnya Konstitusi Afrika Selatan yang dalam salah satu bagiannya menyadur Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia.
C. Praktek Negara
Hanya negara-negara yang dianggap kuat dengan hubungan dan kepentingan internasional yang ekstensif yang memiliki kesempatan untuk berkontribusi dalam praktik hukum internasional.
Cara-cara utama kontribusi praktik negara antara lain muncul dalam pertemuan organisasi internasional, terutama Sidang Umum PBB, pada saat pengambilan suara atau dengan cara menyatakan pandangan mereka mengenai suatu hal.
Selain itu, ada beberapa keadaan di mana bisa dinyatakan bahwa satu-satunya bukti komparatif adalah praktek suatu negara mengenai suatu kasus hak asasi manusia dalam keadaan tertentu.
Ketika mengamati praktik negara untuk menentukan peraturan hukum internasional yang relevan, sangatlah penting untuk mengingat setiap kegiatan tiap organ dan pihak berwenang negara yang terkait dengan tujuan tersebut.
Ketika mengamati praktik negara untuk menentukan peraturan hukum internasional yang relevan, sangatlah penting untuk mengingat setiap kegiatan tiap organ dan pihak berwenang negara yang terkait dengan tujuan tersebut.
Masih diperdebatkan secara terus-menerus terutama dalam hal apa yang seharusnya dilakukan oleh negara dan apa yang mereka anggap mewakili hukum. Namun dalam bentuk paling ekstrim, hal ini bisa juga termasuk dalam menolak apa yang dikatakan oleh negara sebagai praktik dan meletakkannya hanya pada status bukti opinio juris.
Versi yang lebih moderatakan mengevaluasi apa yang dikatakan oleh negara sebagai referensi terhadap keadaan di mana dan pada saat pernyataan itu dibuat. Nosi mengenai praktik memunculkan hukum domestik agar menjadi sebuah kebiasaan hukum internasional mensyaratkan bahwa praktik tersebut diikuti secara reguler, atau praktik negara tersebut haruslah “umum, konsisten dan terkait.”
Versi yang lebih moderatakan mengevaluasi apa yang dikatakan oleh negara sebagai referensi terhadap keadaan di mana dan pada saat pernyataan itu dibuat. Nosi mengenai praktik memunculkan hukum domestik agar menjadi sebuah kebiasaan hukum internasional mensyaratkan bahwa praktik tersebut diikuti secara reguler, atau praktik negara tersebut haruslah “umum, konsisten dan terkait.”
Melihat besarnya komunitas internasional yang ada, praktik ini tidak harus melibatkan seluruh negara atau seragam secara keseluruhan. Namun harus ada tingkatan yang memadai dari partisipasi, terutama bagian negara yang kepentingannya terkenai dan tidak adanya keberatan yang substansial.
Ada beberapa kejadian di mana International Court of Justice (ICJ) telah menolak tuntutan bahwa aturan dalam suatu negara berlaku, dengan pertimbangan karena ketidakadaan konsistensi dalam praktik tersebut.
Nah itu dia bahasan dari sumber-sumber dan sifat hak asasi manusia (HAM), dari penjelasan diatas bisa diketahui mengenai penjelasan sumber-sumber hukum HAM, sumber-sumber yang tidak mengikat secara hukum HAM dan praktek nasional, menyangkut norma HAM yang bersifat mengikat. Mungkin hanya itu yang bisa disampaikan dalam artikel ini, mohon maaf bila terjadi kesalahan dalam penulisan, terimakasih telah membaca artikel ini."God Bless and Protect Us"
